Masa-masa remaja dan bersekolah merupakan masa-masa yang menyenangkan dan penuh kegembiraan. Sehingga tidak sedikit orang dewasa ingin kembali menikmati masa tersebut, karena di usia itu kehidupan hanya isi dengan kebahagiaan tanpa memikirkan beban apapun.
Namun ternyata hal itu dirasakan berbeda oleh Muhammad Amin, siswa yang kini duduk di kelas 2 Madrasah Tsanawiah Negeri 10 Bireuen. Masa keemasan dimana kawan-kawan sebaya kebanyakan menghabiskan waktu dengan belajar dan bermain justru dilewatinya dengan penuh perjuangan.
Terlahir dari keluarga miskin dan tidak berpunya, anak yang masih berusia belasan tahun tersebut harus berjuang mencukupi kebutuhannya sendiri dan untuk mendapatkan uang tambahan buat biaya sekolah.
Amin tak punya pilihan lain dan tak bisa berharap banyak dari sang ayah yang berprofesi sebagai peminta-minta. Apalagi ibunya yang hanya buruh tani dan cuma bekerja saat musim panen tiba. Sedangkan Amin dan ketiga saudaranya masih menempuh pendidikan yang tentunya akan menambah pengeluaran orang tua.
Untuk jajan sekolah, Amin yang merupakan putra pasangan Bapak Rasyidi dan Ibu Nurmi itu hanya diberi Rp. 2.000 perhari dan terkadang bahkan tidak ada sama sekali. Namun remaja berusia 14 tahun dan berkulit gelap itu pasrah menerima karena ia juga menyadari bahwa kedua orangtuanya memang tidak mampu.
"Untuk Jajan, semua dikasih dua ribu, kakaknya yang SMA juga saya kasih dua ribu. Uangnya dari hasil ayahnya meminta-minta," cerita Kak Nurmi, ibu kandung M. Amin
Sang ibu juga mengaku bahwa ia tahu kalau jajan segitu pasti tidak cukup, tetapi ia pun tak bisa memberi banyak. Jangankan untuk jajan terkadang makanpun mereka harus menahan diri.
Karena ingin meringankan beban orang tua dan untuk menambah jajan dan bisa beli kebutuhan lainnya, Muhammad Amin akhirnya menawarkan diri untuk bekerja sebagai tukang panjat pinang.
Namun ternyata hal itu dirasakan berbeda oleh Muhammad Amin, siswa yang kini duduk di kelas 2 Madrasah Tsanawiah Negeri 10 Bireuen. Masa keemasan dimana kawan-kawan sebaya kebanyakan menghabiskan waktu dengan belajar dan bermain justru dilewatinya dengan penuh perjuangan.
Terlahir dari keluarga miskin dan tidak berpunya, anak yang masih berusia belasan tahun tersebut harus berjuang mencukupi kebutuhannya sendiri dan untuk mendapatkan uang tambahan buat biaya sekolah.
Amin tak punya pilihan lain dan tak bisa berharap banyak dari sang ayah yang berprofesi sebagai peminta-minta. Apalagi ibunya yang hanya buruh tani dan cuma bekerja saat musim panen tiba. Sedangkan Amin dan ketiga saudaranya masih menempuh pendidikan yang tentunya akan menambah pengeluaran orang tua.
Untuk jajan sekolah, Amin yang merupakan putra pasangan Bapak Rasyidi dan Ibu Nurmi itu hanya diberi Rp. 2.000 perhari dan terkadang bahkan tidak ada sama sekali. Namun remaja berusia 14 tahun dan berkulit gelap itu pasrah menerima karena ia juga menyadari bahwa kedua orangtuanya memang tidak mampu.
"Untuk Jajan, semua dikasih dua ribu, kakaknya yang SMA juga saya kasih dua ribu. Uangnya dari hasil ayahnya meminta-minta," cerita Kak Nurmi, ibu kandung M. Amin
Sang ibu juga mengaku bahwa ia tahu kalau jajan segitu pasti tidak cukup, tetapi ia pun tak bisa memberi banyak. Jangankan untuk jajan terkadang makanpun mereka harus menahan diri.
Karena ingin meringankan beban orang tua dan untuk menambah jajan dan bisa beli kebutuhan lainnya, Muhammad Amin akhirnya menawarkan diri untuk bekerja sebagai tukang panjat pinang.
Saat pulang sekolah atau hari libur, dimana
kawan-kawan seusianya menghabiskan waktu untuk bermain, Amin justru bekerja
dengan memanjat pinang di kebun-kebun tetangga. Dalam setengah hari Amin bisa
memanjat sampai 25 batang pohong pinang dengan upah Rp2.000 rupiah per pohon.
Yang lebih memilukan lagi, warga Gampong Blang
Mane, Kecamatan Makmur, Kabupaten Bireuen itu bahkan tidak memiliki rumah.
Mereka hanya menumpang di rumah sang paman yang merupakan abang kandung Kak
nurmi. Saat malam hari, mereka tidur di ruang tamu.
Nah, itulah kisah M. Amin yang berusaha keras
demi masa depan pendidikannya dan meringankan beban ayah ibunya. Meskipun
pekerjaan seperti itu bukanlah hal yang luar biasa bahkan dianggap lazim dan sering
dijumpai di perdesaan. Tetapi semoga kisah ini mampu menginspirasi kita semua
karena mungkin kehidupan kita lebih beruntung dari mereka.
Mari saling membantu dan meringankan beban
saudara-saudara kita dan semoga Allah memudahkan rejeki M. Amin dan keluarga sehingga
kelak anak-anak dari Pak Rasyidin dan Kak Nurmi bisa meraih kesuksesan. Amin…
Baca juga: Kisah Mengharukan Kak Nurmi, Tak memiliki Rumah Dan Suami Mengemis, Tapi Ingin Anak-anaknya Terus Bersekolah